birokrasi ( good governance dan reformasi birokrasi)



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Good governance secara sekilas bisa diartikan sebagai pemerintahan yang baik dengan kata lain merupaka  pemerintahan yang bisa disebut pemerintahan yang ideal, akan tetapi wujudnya  bagaimana hal itu dapat dicapai masih membutuhkan pemahaman yang lebih dalam lagi.
Maka dari itu sebagai upaya dalam menciptakan pemerintahan yang baik atau good governance munculah reformasi birokrasi. Reformasi merupakan merubah atau membuat sesuatu ke arah yang lebih baik  dan birokrasi merupakan suatu sistem pemerintah yang dijalankan oleh pegawai pemerintah atau dengan kata lain dapat disebut sebagai birokrat. Jadi reformasi birokrasi merupakan suatu arah pergerakan atau perubahan dalam perbaikan jalanya pemerintahan terhadap pelayanan kepada masyarakat dalam upaya mewujudkan good governance.
    Sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan good governance reformasi birokrasi dirasa perlu untuk dilakukan sebagai bentuk perbaikan sistem pemerintahan, maka dari itu kami berkeinginan untuk membuat suatu makalah yang berjudul “Good Governance dan Reformasi Birokasi”




1.2.Rumusan Masalah
1)   Apa pengertian Good Governance ?
2)   dan bagaimana cara Mewujudkan Good governance ?
3)   Apa pengertian Reformasi?
4)   Apa pengertian Birokrasi ?
5)   Apa saja Karakteristik Birokrasi ?
6)   Bagaimana Urgensi Birokrasi ?

1.3.Tujuan
1.      Untuk mengetahui Apa pengertian Good Governance ?
2.      Mengetahui bagaimana cara Mewujudkan Good governance ?
3.      Mengetahui Apa pengertian Reformasi?
4.      Mengetahui Apa pengertian Birokrasi ?
5.      Mengetahui Apa saja Karakteristik Birokrasi ?
6.      Mengetahui Bagaimana Urgensi Birokrasi ?







BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Good Governance          
                  Pengertian good and governance, istilah good and governance muncul pasca runtunya rezim orde baru dan bergulirnya gerakan reformasi, pada awal 1990-an. Secara umum istilah good and governance adalah segala hal yang berkaitan dengan tindakan atau memengaruhi tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau memengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa para ahli mendefinisikan good governance :
·         Menurut Pierre Landell-Mills & Ismael Seregeldin mendefinisikan good governance sebagai penggunaan otoritas politik dan kekuasaan untuk mengelola sumber daya demi pembangunan sosial ekonomi.
·         Sedang menurut Robert Charlick mengartikan good governance sebagai pengelolaan segala macam urusan publik secara efektif melalui pembuatan. Peraturan atau kebijakan yang absah demi untuk mempromosikan nilai-nilai kemasyrakatan.
Governance merupakan paradigma baru dalam dalam tatanan pengelolaan kepemerintahan. Ada tiga pilar governance , yaitu pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Sementara itu, paradigma pengelolaan pemerintahan yang sebelumnya berkembang adalah governance sebagai satu-satunya penyelenggara pemerintahan.     
            Jadi good governance diartikan sebagai tata tingkah      atau tindakan yang baik yang didasarkan pada kaidah-kaidah tertentu untuk pengelolaan masalah-masalah publik dalam kehidupan keseharian dan dapat diartikan juga sebagai pemerintahan yang baik dalam standar proses dan hasilnya, semua unsur pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, memperoleh dukungan dari rakyat dan terlepas dari gerakan-gerakan anarkis yang dapat menghambat proses  pembangunan.                      

2.2.Mewujudkan  Good Governance
            Good governance mengandung arti hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sktor swasta, dan masyarakat. Dalam hal ini adalah kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, trasnparansi, pelayanan prima, demokrasi,efesiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.
                 Seperi disampaikan Bob Sugeng Hadiwinata, asumsi dasar good governance haruslah menciptakan sinergi antara sektor pemerintah (menyediakan  perangkat aturan dan kebijakan), sektor bisnis (menggerakan roda perekonomian), dan sektor civil society ( aktivitas swadaya guna mengembangkan produktivitas ekonomi, efektifitas, dan efesiensi.
 Syarat bagi terciptanya good governance yang merupakan prinsip dasar meliputi :
1.      Partisipatoris; setiap  pembuatan pelaturan atau kebijakan selalu melibatkan unsur masyarakat (melalui wakil-wakilnya).
2.      Rule of Law; harus ada perangkat hukum yang menindak para pelanggar, menjamin perlindungan HAM, tidak memihak, berlaku pada semua warga.
3.      Transparasi; adanya ruang kebebasan untuk memperoleh informasi publik bagi warga yang membutuhkan (diatur oleh undang-undang). Ada ketegasan antara rahasia negara dengan informasi yang terbuka untuk publik.
4.      Responsiveness; lembaga publik harus mampu merespon kebutuhan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan “basic needs” (kebutuhan dasar) dan HAM (hak sipil, hak politik,hak ekonomi, hk sosial, dan hak budaya).
5.      Konsensus; jika ada perbedaan kepentingan yang mendasar di dalam masyarakat, penyelesaian harus mengutamakan cara dialog/musyawarah menjadi konsensus.
6.      Persamaan Hak; pemerintah harus menjamin bahwa semua pihak, tanpa terkecuali, dilibatkan di dalam proses politik, tanpa ada satu pihak pun yang dikesampingkan.
7.      Efektivitas dan Efesiensi; pemerintah harus efektif (abasah) dan efesien dalam memproduksi output berupa aturan, kebijakan, pengelolaan keuangan negara, dll.
8.      Akuntabilitas ; suatu perwujudan kewajiban dari suatu instansi pemerintahan untuk mempertanggung jawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misinya. Implementasi akuntabilitas dilakukan melalui pendekatan strategis, yang akan mengakomodasi perubahan-perubahan cepat yang terjadi pada organisasi dan secepatnya menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut, sebagai antisipasi terhadap tuntutan pihak-pihak yang berkepentingan.
Implementasi kesemuanya, sangat dibutuhkan sebagai syarat bagi terciptanya pemerintahan yang baik ( good governance) dan pemerintah yang bersih (clean governance). Pemerintah akan mampu melaksanakan fungsinya dalam kerangka good governance, bila diciptakan suatu sistem administrasi publik yang kooperatif dengan pendekakatan pelayanan publik yang lebih relavan bagi masyarakat. Menurut Institue On Governance (!996), sebagaimana dikutip Nisjar (1997), untuk menciptakan good governance perlu diciptakan hal-hal sebagai berikut :
1)    Kerangka kerja tim (team work) antarorganisasi, departemen, dan wilayah.
2)    Hubungan kemitraan antara pemerintah denga setiap unsur dalam masyarakat  negara yang bersangkutan.
3)          Pemahaman dan komitmen terhadap manfaat dan arti pentingnya tanggung jawab bersama dan kerjasama dalam  suatu keterpaduan serta sinergisme dalam  pencapaian tujuan.
4)         Adanya dukungan dan sistem imbalan yang memadai untuk mendorong terciptanya kemampuan dan keberanian menanggung risiko (risk taking ) daN berinisiatif, sepanjang hal ini secara realistik dapat dikembangkan.
5)        Adanya pelayanan administrasi publik yang berorietasi pada masyarakat, mudah dijangkau masyarakat dan bersahabat, berdasarkan kepada asas pemertaan dan keadilan dalam setiap tindakan dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, berfokus pada kepentingan masyarakat, bersikap profesional, dan tidak memihak (non partisan ).


















2.3.Reformasi Birokrasi
Reformasi
    Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180). Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan dan sumber daya manusia aparatur”
Berbagai permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan atau diperkirakan tidak akan berjalan dengan baik harus ditata ulang atau diperharui. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Selain itu dengan sangat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu harus segera diambil langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistematik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Reformasi di sini merupakan proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, sehingga tidak termasuk upaya dan/atau tindakan yang bersifat radikal dan revolusioner.
Pada intinya latar belakang reformasi birokrasi adalah sbb:
1.      Ketidakpercayaan yang meluas pada kinerja pemerintah dan kebangkrutan birokrasi di Amerika telah melahirkan konsep Reinventing Government sebagai model manajemen publik baru yang dikembangkan oleh David Osborne & Ted Gaebler pada th.1992
2.      Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih berlangsung hingga saat ini.
Mungkin sebagian diantara kita masih bingung memahami pengertian KKN, apa itu korupsi, apa itu kolusi, dan apa pula bedanya dengan nepotisme, sehingga kita tidak menyadari bahkan tidak merasakannya meskipun aktifitas tersebut sering terjadi disekeliling kita dan terkadang kita sendiri bertindak sebagai pelakunya.
Korupsi menurut “Transparency International” adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang di percayakankepada mereka. Korupsi dapat membuat pelayanan pemerintah menjadi tidak maksimal dikarenakan adanya penyaluran anggaran yang kurang sempurna sehinggga masyarakat dirugikan karena tindakan korupsi yang dilakukan oleh aparatur yang berkaitan. Dalam arti luas korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk kepentingan pribadi. Korupsi menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia” adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Korupsi di definisikan oleh “Bank Dunia” sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.
3.    Tingkat kualitas pelayanan publik masih belum mampu memenuhi harapan masyarakat
Misalnya LIPI sebagai lembaga penelitian milik pemerintah bentuk pelayanannya berupa melakukan riset dan menghasilkan produk penelitian yang berhasil guna dan bermanfaat bagi masyarakat luas, kualitas dan kuantitas penelitiannya itu yang harus direformasi apabila dampaknya belum terasa bagi rakyat Indonesia secara luas. Demikian pula dengan instansi pemerintah lainnya, contoh lain pelayanan kantor kelurahan dalam pengurusan KTP, apabila sebelum reformasi birokrasi pelayanan pembuatan KTP di kantor kelurahan bisa mencapai waktu 2 minggu atau 3 bulan lebih, setelah reformasi birokrasi harusnya pembuatan KTP bisa diselesaikan dalam waktu kurang dari satu hari. Karena ada hal-hal yang direformasi seperti jika sebelumnya birokrasi yang berbelit-belit sekarang menjadi lebih sederhana, Lurah yang biasanya datang siang dan sering tidak ada ditempat sekarang selalu datang tepat waktu dan ada ditempat disaat dibutuhkan masyarakat untuk mendandatangani KTP dsb.
4.    Tingkat efisiensi, efektivitas, dan produktivitas birokrasi belum optimal
Sebelum PP 6/08 dan PP 8/08, perencanaan anggaran masih bersifat perencanaan kegiatan/program. Hal ini membuat sistem birokrasi sibuk dengan kegiatan dan program tetapi tidak tau apa yang dicapai. Pendekatan ini bukan hanya berpotensi membelanjakan dana publik untuk hal yang tidak perlu, tetapi juga membuat struktur birokasi tidak tau persis apa yang harus dilakukan. Semua hal terlihat penting.
Pada era reformasi birokrasi pendekatan ini harus diubah. Setelah PP 6/08 dan PP 8/08 pemerintahan harus berpikir HASIL. Merencanakan HASIL, menganggarkan untuk HASIL, memonitor HASIL dan melaporkan HASIL. Pemilik (rakyat) tidak terlalu pusing dengan apa yang dilakukan oleh birokrat, para pembayar pajak lebih mementingkan pencapaian hasil. Mereka ingin agar pasar tidak kumuh lagi, jalanan tidak macet lagi, semua anak bersekolah, semua orang yang sakit dapat perawatan, mudah dapat modal usaha dll. Rumusan hasil harus datang dari warga masyarakat lewat satu mekansime tertentu yang menjamin keterwakilan dan transparansi. Anggaran harus dirancang untuk mencapai hasil, bukan hanya untuk melaksanakan kegiatan. Pada akhirnya setiap pekerjaan harus didelegasikan kepada jabatan-jabatan yang sesuai untuk melaksanakannya.
5.    Transparansi dan akuntabilitas birokrasi masih rendah
Transparansi adalah suatu proses keterbukaan dari para pengelola manajemen, utamanya manajemen publik, untuk membangun akses dalam proses pengelolaannya sehingga arus informasi keluar dan masuk secara berimbang. dalam proses transparansi informasi tidak hanya diberikan oleh pengelolah manajemen publik, tetapi masyarakat memiliki hak untuk memperoleh informasi yang menyangkut kepentingan publik. Transparansi Pemerintahan adalah terjaminnya akses masyarakat dalam berpartisipasi, utamanya dalam proses pengambilan keputusan. Jika penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan tertutup dan tidak transparan secara umum akan berdampak pada tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat atau warga Negara, sebagaimana tercantum dalam kontitusi Negara, yaitu percapaian masyarakat yang adil dan makmur. Keterbukaan adalah keadaan yang memungkinkan ketersediaan informasi yang dapat diberikan dan didapat oleh masyarakat luas. Keterbukan merupakan kondisi yang memungkinkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan bernegara. Keterbukaan arus informasi di bidang hukum penting agar setiap warga negara mendapatkan suatu jaminan keadilan.
6.    Disiplin dan etos kerja masih rendah.
Mestinya kita tak perlu malu untuk bertanya mengenai hal-hal yang belum kita ketahui. Menurut Max Weber, pakar manajemen, ETOS KERJA diartikan: perilaku kerja yang etis yang menjadi kebiasaan kerja yang berporoskan etika. Dengan kata lain yang lebih sederhana, etos kerja yaitu semua kebiasaan baik yang berlandaskan etika yang harus dilakukan di tempat kerja, seperti: disiplin, jujur, tanggung jawab, tekun, sabar, berwawasan, kreatif, bersemangat, mampu bekerja sama, sadar lingkungan, loyal, berdedikasi, bersikap santun, dsb.Seorang pekerja atau pemimpin betapa hebat kepandaian/kecakapannya, tetapi tidak jujur atau tidak bertanggung jawab, tidak disiplin atau tidak loyal, misalnya apalagi tak mampu bekerja sama, pasti merugikan perusahaan. Dan hal ini tidak dikehendaki terjadi. Tanpa etos kerja tinggi seperti disebutkan di atas perusahaan tak mungkin meningkatkan produktivitas sebagaimana yang diharapkan. Kinerja (performance) sangat ditentukan oleh etos kerja.
7.    Perubahan lingkungan strategis, yang antara lain: kemajuan teknologi
komunikasi dan informasi, krisis ekonomi global, berkembangnya persaingan antar negara, dst.
2.4.Definisi Birokrasi
Birokrasi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. Atau dalam definisinya yang lain, birokrasi adakah cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan yang banyak liku-likunya.
Menurut Max Weber (1864-1920) birokrasi adalah salah satu bentuk organisasi       belaka. Penerapan birokrasi senantiasa dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai.
Fritz Morstein Marx merumuskan birokrasi sebagai tipe organisasi yang dipergunakan pemerintah modern untuk melaksanakan tugas-tugasnya yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah.
Ferrel Heady (1966) dengan mengutip rumusan Thomson menyatakan bahwa: “Organisasi birokratik disusun sebagai suatu hierarki otorita yang begitu terperinci, yang mengatasi pembagian kerja, dan juga telah amat terperinci.”
Peter A. Blau dan Charles H. Page memformulasikan birokrasi sebagai sebuah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar, dengan cara mengkoordinasikan secara sistematik dari pekerjaan banyak orang.
Dennis Wrong mencatat bahwa birokrasi organisasi yang diangkat sepenuhnya untuk mencapai satu tujuan tertentu dari berbagai aneka tujuan; ia diorganisasi secara hierarkis dengan jalinan komando yang tegas dari atas ke bawah; mencipta pembagian pekerjaan jelas yang menugasi setiap orang dengan tugas yang spesifik; peraturan-peraturan umum dan ketentuan-ketentuan yang menuntun semua sikap dan usaha untuk mencapai tujuan; karyawan dipilih terutama berdasarkan kompetensi dan keterlatihannya; kerja dalam birokrasi cenderung merupakan pekerjaan sepanjang hidup.
Cacat-cacat birokrasi, yang terungkap dalam istilah “pita merah” (red tape) dan Hukum Parkinson, tidaklah tepat untuk dilekatkan dengan analisis Weber, karena: “pertama, birokrasi memang seringkali tidak efisien, lamban, dan kaku; kedua, kebanyakan aktivitas birokrasi tidak cocok dengan kondisi modern, sebab aktivitas ini dilaksanakan sedemikian buruknya oleh organisasi-organisasi birokratik. Kebanyakan ahli ilmu sosial mendefinisikan birokrasi dalam satu arah yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi fenomena yang terliput dalam organisasi yang benar dan kompleks.
Ferrel Heady (1966) menunjukkan adanya tiga macam pendekatan dalam merumuskan birokrasi:
1.      Pendekatan struktural
2.      Pendekatan behavioral (perilaku)
3.      Pendekatan pencapaian tujuan

A.    Tipe Ideal Birokrasi
1.      Otorita Tradisional
Otorita tradisional meletakkan dasar-dasar legitimasi pada pola pengawasan sebagaimana diberlakukan di masa lampau dan yang kini masih berlaku. Legitimasi dikaitkan dengan kewajiban penduduk untuk menuangkan loyalitas pribadinya kepada siapa yang menjadi kepalanya. Perubahan tidak diperkenankan oleh preseden.
2.      Otorita Kharismatik
Otorita ini timbul karena penghambaan seseorang kepada individu yang memiliki hal-hal yang tidak biasa, misalnya mempunyai sikap heroik, dan sifat-sifat pribadi lainnya yang amat menonjol. Kedudukan seorang pemimpin kharismatik tidaklah diancam oleh kriteria-kriteria dan aturan-aturan tradisional. Otorita kharismatik merupakan lawan keteraturan rutin.
3.      Otorita Legal-Rasional
Otorita ini didasarkan pada aturan yang bersifat tidak pribadi impersonal yang ditetapkan secara legal. Otorita legal-rasional didasarkan pada aturan-aturan yang pasti. Aturan yang secara rasional telah dikembangkan oleh masyarakat. Intisari dari otorita legal-rasional adalah birokrasi. Jantung dari birokrasi adalah sistem hubungan otorita yang dirumuskan secara rasional oleh aturan-aturan.
Weber menetapkan enam prinsip bagi sistem-sistem birokrasi modern, yang berasal dari gagasan kewenangan rasional/legal (Gerth dan Mills):
1.    Prinsip bidang-bidang yuridiksi umumnya ditata dengan hukum atau peraturan-peraturan administratif.
2.    Prinsip hierarki jabatan dan suatu sistem super-ordinasi dan subordinasi yaitu ada suatu pengawasan jabatan-jabatan yang lebih rendah oleh jabatan-jabatan yang lebih tinggi.
3.      Manajemen kantor modern didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis yang disimpan. Umumnya birokrasi memisahkan aktivitas pejabat sebagai sesuatu yang berbeda dari lingkungan pribadi. Uang-uang dan perlengkapan negara dipisahkan dari kepemilikan pribadi.
4.    Manajemen kantor, setidaknya semua manajemen kantor yang dispesialisasikan dan manajemen yang demikian secara jelas modern biasanya mensyaratkan pelatihan ahli dan menyeluruh.
5.    Pada awalnya dalam semua hal keadaan normal dibalik, bisnis pejabat diturunkan sebagai aktivitas sekunder.
6.    Manajemen kantor mengikuti aturan-aturan umum, yang lebih atau kurang stabil, lebih atau kurang melelahkan, dan yang bisa dipelajari.
Kemiripan prinsip-prinsip menurut Chandler dan Plano juga dapat ditentukan dalam hal-hal berikut:
1.    Otorita untuk pemerintah.
2.    Prinsip-prinsip dan hierarki perkantoran dan jenjang tingkatan otorita yang terbangun dalam sistem superior dan subordinasi.
3.    Birokrasi rasional harusnya terdiri ata orang-orang yang bekerja paruh waktu, digaji, dan diangkat secara karier melalui latihan keahlian, dipilih berdasarkan kualifikasi teknis.
4.    Mengurusi perbedaan manusiawi.
Chandler dan Plano menunjukkan bahwa kelemahan teori Weber adalah tidak mengakui adanya konflik antara otorita yang telah dibangun secara hierarkis itu, serta tidak mudahnya menghubungkan proses birokrasi dan modernisasi di kalangan negara-negara berkembang.




2.5.Karakteristik Birokrasi
Setiap aktivitas yang memerlukan koordinasi ketat terhadap kegiatan-kegiatan sejumlah besar orang dan sangat terspesialisasi, maka bentuk organisasi yang harus diambil tiada lain adalah organisasi birokratik.
Dennis H. Wrong (dalam Ali Mufiz, 1986: 1984) mengungkapkan bahwa setiap organisasi birokratik mempunyai ciri struktural utama sebagai berikut:
1.      Pembagian tugas
2.      Hierarki otorita
3.      Peraturan dan ketentuan yang terperinci
4.      Hubungan impersonal diantara pekerja

S.N Eisenstadt (dalam Ali Mufiz, 1986:186) menguraikan kondisi-kondisi perkembangan organisasi birokratik:
1.    berkembang proses diferensiasi secara ekstensif antara tipe-tipe peranan utama dan faktor kelembagaan.
2.    Peranan sosial yang paling penting dilokasikan tidak berdasarkan kriteria keanggotaan dalam kelompok partikularistik, tetapi sebaliknya lebih didasarkan pada kriteria universalistik dan prestasi.
3.    Ada pertumbuhan kelompok-kelompok yang secara fungsionak bersifat spesifik.
4.    Definisi komunitas tidaklah identik dengan kelompok partikularistik.
5.    Kelompok-kelompok dan strata-strata yang utama dalam masyarakat mengembangkan, mendorong, dan berusaha untuk melaksanakan berbagai macam tujuan yang berbeda.
6.    Pertumbuhan differensiasi dalam struktur sosial membuat kompleksitas semua bidang kehidupan.
7.    Perkembangan-perkembangan ini menghasilkan “mengembang-bebas”.
Ketujuh kondisi tersebut, sebenarnya Eisenstadt dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa organisasi birokratik seharusnya dikembangkan dengan lebih dulu mempertimbangkan dengan adanya differensiasi dalam sistem sosial. Lebih jauh, Eisenstadt melihat ada kalanya organisasi birokratik diciptakan oleh kelompok elite tertentu dalam rangka untuk menyelesaikan suatu masalah dan untuk menjamin perolehan pelayanan dan posisi kekuasaan di dalam masyarakat. Dalam banyak sejarah, administrasi birokratik diciptakan oleh para raja yang menginginkan pemantapan kekuasaannya pada kelompok feodal-aristokrasi dan yang menghendaki untuk mengendalikan semua sumber ekonomi sosial, serta untuk memberkan kepada kelompok-kelompok ekonomi dan sosial layanan publik, ekonomi dan administrasi tetapi dengan membuat mereka tetap bergantung pada penguasa.
Dalam kebanyakan masyarakat modern, organisasi birokratik diperkenalkan ketika para pemegang kuasa politik dan ekonomi di rundung berbagai masalah, yang muncul karena terjadinya perkembangan eksternal. Untuk menyelesaikan masalah-masalah ini, mereka harus memobilisasi sumber yang tepat dari berbagai kelompok dan bidang kehidupan.
2.6.Urgensi Birokrasi
Dugaan buruk terhadap keberadaan birokrasi merupakan sebuah disfungsi yang merupakan pengaburan terhadap konsep birokrasi. Padahal birokrasi merupakan kebutuhan pokok bagi peradaban modern. Ada banyak faktor internal dan eksternal yang mendorong penerapan organisasi birokratik, yang dapat dimobilisasikan segala sumber daya yang tersedia.
Alasan yag paling mendasar bagi penciptaan organisasi birokratik adalah adanya kebutuhan untuk melakukan koordinasi terhadapa aktivitas yang berjumlah besar dan terspesialisasi.
“delegated legistation” pada umumnya menampilkan bentuk-bentuk peraturan dan ketentuan perundang-undangan dan mempunyai status yang penting. Dalam pembuatan kebijakan diperlukan hal-hal yang bersifat teknis, yaitu cabang legislatif dan yudikatif terpaksa harus menyerahkan sebagian fungsinya kepada birokrasi.
Peran birokrasi yang kedua muncul karena hanya birokrasi lah yang mempunyai pengetahuan teknis. Ini yang oleh Rober Presthus disebut sebagai peranan kritis birokrasi dalam permulaan kebijakan. Adanya kelompok-kelompok penekan dalam birokrasi, juga menyebabkan birokrasi  dapat memainkan peranan untuk merekomendasikan dan melaksanakan kebijkan publik. Ketika suatu program mulai dilaksanakan, maka birokrasi yang pertama mengetahuinya. Oleh karena itu, tidak terlalu mengagetkan ketika diketahui bahwa setengah dan mungkin seluruh perundang-undangan yang disahkan oleh DPR rancangannya atau inisiatifnya berasal dari birokrasi.
Peranan birokrasi yang ketiga menunjukkan jangkauan pengaruh birokrasi, yaitu ada rangsangan kekuatan, keamanan, dan kesetiaan. Telah lama diketahui bahwa biro ataupun departemen-departemen amat termotivasi untuk menjalankan fungsi-fungsi layanan, berdasarkan suatu struktur tertentu. Kadang-kadang pejabat meyakini dirinya sendiri sedang memainkan peran perwakilan, meskipun yang mereka kerjakan lebih diorientasikan kepada kepentingan sendiri.mereka membela satu filosofi yang menyatakan bahwa adalah sah bila satu lembaga menjalankan kepentingan tertentu. Terdapat peleburan antara andil pada kepentingan fungsional. Keamanan dan pertumbuhan merupakan tujuan-tujuan umum, dan kedanya diuntungkan oleh perluasan program dan pelayanan dalam berbagai sektor.
Wallace S. Sayre telah membahas tiga pertanyaan pokok mengenai birokrasi:
1.    Bagaimana para birokrat dipilih?
2.    Apakah peranan birokrat dalam pembuatan keputusan?
3.    Bagaimana birokrat diperintah?
Mengenai pertayaan kedua, pertama-tama harus disadari bahwa proses pembuatan keputusan pemerintah yang aktual berbeda, dalam tingkat tertentu. Oleh karena itu, kita memahami adanya perbedaan proses pembuatan keputusan antara dua atau lebih negara. Disana tertangkap adanya kecenderungan dan perubahan-perubahan keputusan, dan realitas proses pembuatan keputusan tidaklah hanya ditemui dalam pernyataan-pernyataan konstruksional dan formal mengenai suatu cara bagaimana kekuasaan didistriusikan. Proses pembuatan keputusan yang nyata adalah bersifat kompleks dan gelap, sehingga tidak begitu mudah untuk mengenali dan menggambarkannya.
Birokrasi bukanlah salah satu pembuat keputusan, tetapi ia lebih merupakan sebuah instrumen. Ia tidak otonom, melainkan ia adalah pelaksana yang netral dari rencana-rencana yang dibuat oleh pihak lain. Peranan yang demikian adalah mitos kuno yang hampir-hampir telah ditinggalkan. Pada kenyataannya, dalam semua negara birokrasi adalah salah satu pelaku penting dalam pembuatan keputusan-keputusan pemerintah. Dalam beberapa sistem, para birokrat memegang kedudukan kunci, tetapi dalam kebanyakan sistem kekuasaan, mereka sebagai pembuat keputusan tampaknya semakin meningkat. Contoh yang paling kelihatan adalah apa yang terjadi di negara-negara sedang berkembang.
1.      Ia mengembangkan konformitas dan pikiran-pikiran kelompok.
2.      Ia tidak memperhitungkan organisasi informal dan masalah yang tidak terantisipasi.
3.      Sistem pengendalian dan otoritanya belakangan.
4.      Tidak memiliki proses yuridis yang tepat.
5.      Tidak memiliki prasarana yang tepat untuk memecahkan perbedaan.
6.      Komunikasi dibenamkan kedalam pembagian-pembagian hierarkis.
7.      Sumber manusiawi tidak dimanfaatkan secara positif
8.      Ia tidak bisa berasimilasi dengan kemajuan teknologi dan ilmu.
9.      Ia memodifikasi struktur kepribadian yang mengarah penciptaan “manusia organisasi”
       Ada satu hal yang tidak boleh diabaikan ,yakni bahwa birokrasi tumbuh subur dalam lingkungan yang kompetetif,tidak terdeferensiasi, dan stabil.   Stabilitas tidak pernah berhenti lama ,secepatnya ia akan bergerak dan berubah. Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya perubahan adalah:
1.    Kemajuan ilmu, penelitian, dan tekhnologi
2.    Meningkatnya interdependensi antara bidang ekonomi dan bidang-biadang kegiatan sosial lainnya ,yang mengakibatkan semakin tinggi komplikasinya setiap peraturan publik.
3.    Kompetensi beberapa jenis organisasi yang tidak relevan dengan keputusan masyarakat.
      Argumentasi awal yang dikemukakan Bennis mengecam birokrasi diangkat dari ketidak mampuan birokrasi untuk menyelsaikan ketegangan antara tujuan pribadi dan organisasi
      Selanjutnya argumen kedua yang diajukan Bennis berkaitan dengan terjadinya revolusi ilmu dan tekhnologi. Justru hal ini merupakan penyebab paling utama tersisihnya birokrasi dari peraturan kehidupan masyarakat.
      Model birokratis yang kaku ,administratif, yang biasanya ditemui, sekarang tidak dapat dipercaya lagi, baik secara teoretis maupun praktek.






BAB III
PENUTUP
3.1.  Simpulan
     Good governance memiliki tiga komponen dalam pelaksanannya sebagai suatu sistem yang harus saling bekerja sama menjaga keseimbangan dan saling mengontrol. Tiga komponen tersebut yaitu pemerintah, rakyat dan usahawan, ketiga komponen itu mempunyai tata hubungan yangs ama dan sederajat. Jika kesamaan ini tidak sebanding, dipastikan terjadi pembiasan dan konsep good governance tersebut.
Reformasi birokrasi merupakan suatu upaya untuk melakukan pembaharuan  dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut unsur-unsur kelembagaan dan sumber daya manusia aparatur negara atau birokrat.
Tujuan dari adanya reformasi birokrasi yaitu sebagai upaya dalam mewujudkan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan ideal yaitu good governance.
3.2.  Rekomendasi
Untuk memperbaiki kesalahan dalam pembuatan makalah ini kami mohon dengan penuh hormat kepada semua pihak baik dosen pengampu mata kuliah Birikrasi ataupun temen-temen untuk dapat ikut serta dalam memberikan kritikan dan memperbaiki makalh ini.
Diharapkan dengan adanya reformasi birokrasi, pemerintah yang baik, efektif dan efesien dan terbebas dari praktek KKN  dapat mewujudkan sebagai upaya menuju Good Governance.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

tugas MSDMSP (Isu-isu Kontemporer)

Desa Cihanjuang (MSIP)